Onvoldoende Gemotiveerd 

(LINTASTODAY) Onvoldoende gemotiveerd adalah bahasa Belanda yang sering digunakan Mahkamah Agung dalam putusan-putusan untuk menyebut jika hakim pertama dan banding tak cukup pertimbangan. Dalam bahasa Inggris lazim disebut insufficient judgement.

Ada yang mengartikannya sebagai pertimbangan yang tidak cukup lengkap, ada pula yang menyebutnya putusan yang kurang pertimbangan.

Hakim dinilai sangat perlu merujuk /menimbang segala sesuatu pokok dan hal dalam formulasi atas Penetapan Putusan Hukuman, Demi Keadilan. Dalam sistem hukum nasional, sumber hukum yang paling utama adalah undang-undang. Namun demikian, Indonesia juga mengenal sumber-sumber hukum lainnya yaitu yurisprudensi, kebiasaan, traktat atau perjanjian dan doktrin atau pendapat para ahli hukum terkemuka.

Yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum formal, penting eksistensinya apabila dihubungkan dengan tugas hakim.

Dalam praktik, hakim terkadang dihadapkan pada kondisi harus mengadili suatu perkara yang tidak memiliki dasar hukum atau pengaturan hukumnya tidak jelas.

Dalam keadaan seperti itu hakim tidak boleh menolak perkara. Hal ini sesuai dengan Pasal 22 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia(A.B.) yang menyatakan bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan, tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili.

Lebih lanjut Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menyatakan: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Dengan demikian, apabila undang-undang tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara tersebut, maka hakim dapat membentuk ketentuan/ peraturan sendiri (penemuan hukum/rechtvinding).

Putusan hakim yang berisikan suatu ketentuan/ peraturan dapat menjadi dasar putusan hakim lainnya/ kemudiannya untuk mengadili perkara yang serupa dan putusan hakim tersebut lalu menjadi sumber hukum bagi pengadilan.

Sistem hukum Indonesia selama ini, karena pengaruh sistem hukum Belanda, menganut sistem Civil Law.Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bagi negara-negara penganut Civil Law yurisprudensi bukanlah hal yang sangat mengikat. Ketika ada putusan hakim pengadilan sebelumnya yang dipakai untuk memutuskan kasus di kemudian hari maka hal itu bukanlah karena putusan hakim sebelumnya mempunyai kekuatan mengikat, melainkan karena hakim yang kemudian menganggap bahwa putusan sebelumnya itu memang dianggap tepat dan layak untuk diteladani.

Sama halnya dengan negara-negara penganut Civil Law, di Indonesia, yurisprudensi tidak wajib diikuti oleh para hakim lainnya. Dalam sistem hukum Indonesia, putusan pengadilan hanya mempunyai kekuatan mengikat bagi perkara yang diadili itu dan pihak-pihak yang bersengketa dalam perkara tersebut. Pasal 21 AB menyatakan bahwa “Hakim tidak diperkenankan, berdasarkan verordeningumum, disposisi atau reglemen, memutus perkara yang tergantung pada putusannya”. Pasal 1917 KUHPerdata menyatakan bahwa “Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang bersangkutan. Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang dituntut harus sama; tuntutan harus didasarkan pada alasan yang sama; dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula.” Mendasarkan pada hal-hal tersebut, putusan pengadilan hanya mempunyai kekuatan mengikat terbatas pada perkara yang diputuskan. Putusan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat secara umum walaupun untuk peristiwa atau perkara serupa (kecuali untuk putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dan putusan Mahkamah Konstitusi).

Di Indonesia juga dikenal yang namanya yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia yaitu putusan Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berisi kaidah hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus perkara dalam lingkup Peradilan Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan Niaga yang dikualifikasi. Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang telah beberapa kali dipergunakan sebagai acuan bagi para hakim untuk memutus suatu perkara yang sama sehingga menjadi sumber hukum yang memiliki kekuatan mengikat secara relatif.

Dengan demikian, kedudukan yurisprudensi di Indonesia sangat berbeda dengan keputusan hakim yang merupakan “preseden” sebagaimana yang terdapat dinegara-negara Common Law.

Pada dasarnya Mahkamah Agung tak bisa mengubah lama tidaknya suatu hukuman. Onvoldoende gemotiveerd menjadi pintu masuk untuk mengoreksi putusan judex factie.

Pidana yang dijatuhkan hakim terhadap seorang terdakwa acapkali dinilai melukai rasa keadilan bagi masyarakat.

Putusan selalu disebut sebagai mahkota hakim. Itu sebabnya hakim harus benar-benar membuat putusan yang bagus. Secara sederhana putusan hakim mencakup irah-irah dan kepala putusan, pertimbangan, dan amar. Dari cakupan itu, yang dipandang sebagai dasar putusan adalah pertimbangan.

Dalam perkara perdata, pertimbangan yang harus dibuat hakim meliputi duduknya perkara dan pertimbangan hukum. Para pihak mengemukakan peristiwa, hakim mencari hukumnya. Dalam perkara pidana terdapat perpaduan antara penetapan peristiwa dengan penemuan hukum sebagai konsekuensi mencari kebenaran materiil, adanya alasan-alasan yang kuat dalam pertimbangan sebagai dasar putusan membuat putusan sang hakim menjadi objektif dan berwibawa. Karena itu pula, Pasal 178 ayat (1) HIR, Pasal 189 ayat (1) Rbg, dan Pasal 50 RV mewajibkan hakim karena jabatannya melengkapi segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak.

Putusan Mahkamah Agung No 638K/Sip/1969 menegaskan putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan menjadi alasan untuk kasasi, dan putusan demikian harus dibatalkan. Putusan Mahkamah Agung No 67 K/Sip/1972 juga mengandung kaidah hukum “putusan judex factie harus dibatalkan jika judex factie tidak memberikan alasan atau pertimbangan yang cukup dalam hal dalil-dalil tidak bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangannya.

Pasal 50 ayat (1) UU No 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan putusan pengadilan harus memuat alasan dan dasar putusan. Juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang relevan dan sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

onvoldoende gemotiveerd bisa dikatakan masalah yuridis. Konsekuensinya, putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak cukup pertimbangan bisa dibatalkan di tingkat banding. Demikian seterusnya ke Mahkamah Agung. Pasal 197 KUHAP membuat rincian apa saja yang harus dimuat hakim dalam surat putusan. Jika kurang memuat materi tersebut bisa berakibat putusan batal demi hukum.

Apriyan Sucipto, SH. MH

Sumber: Disarikan dari beberapa buku referensi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *